Jumat, 20 Juni 2008

Mewaspadai Bahaya Tasawuf HAKIKAT TASAWUF DAN SUFI

Ibnu Arabi dan Islam Liberal
Katagori : Konsultasi & FAQ
Oleh : Redaksi 26 Jul 2007 - 6:00 am


imageAssalamu'alaikum wr wb
Semoga Ustadz selalu dalam limpahan rahmat dari Allah SWT


Langsung saja, Ustadz. Kaum islib sering menyandar argumen mereka pada Ibnu Arabi, ulama yang pernah hidup di Andalusia. Siapa sebenarnya beliau dan apakah memang pandangan2nya mendukung Islam liberal?


Wassalam


Abdullah

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ibnu Arabi lahir di di Murcia, Spanyol pada 28 Juli 1165 masehi bertepatan dengan tangal 17 Ramadhan 506 hijriyah. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Ali Muhyiddin Al-Hatimi At-Taha'i Al-Andalusi. Wafat di Damaskus, Syria pada tahun 1240 M atau 638 H.


Sebelum kita bicara tentang Ibnu Arabi yang anda tanyakan, perhatikan dan jangan salah dengan nama lain yang kebetulan mirip. Ada tokoh lain bernama Ibnu Al-Arabi (ada lafadz al- di depan kata Arabi).


Kalau Ibnu Al-Arabi seorang ahli tafsir yang muslim, maka Ibnu Arabi (tanpa al-), tokoh yang anda tanyakan itu, bukan muslim apalagi ulama. Dia hanyalah orang yang pernah beragama Islam lalu keluar atau murtad, sehingga tidak layak menyandang gelar ulama.


Kekafiran Ibnu Arabi bukan sekedar mengada-ada, namun sudah menjadi fatwa para ulama besar yang mengenal pemikirannya. Di antara yang telah menjatuhkan vonis kafir atasnya antara lain:


Al-Imam An-Nawawi (wafat tahun 676 H)
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat tahun 852 H)
Al-Izz Ibnu Abdissalam (wafat tahun 660 H)
Imam Ibnu Taymiyah (wafat tahun 728 H)
Imam Ibnul Qayyim (wafat tahun 751 H)
Al-Qadhi 'Iyyadh (wafat tahun 744 H)
Al-'Iraqi (wafat tahun 826 H)
Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H)
Al-Bulqini (wafat tahun 805 H)
Al-Jurjani (wafat tahun 814 H)
Ibnu Ad-Daqiq Al-'Ied (wafat tahun 702 H)


Mengapa Ibnu Arabi divonis kafir? Apa kesalahannya?


Kesalahannya adalah dia telah keluar dari aqidah Islam yang lurus secara sadar, paham dan mengerti. Pendapatnya yang keluar dari agama Islam itu bukan sekedar karena ketidak-tahuannya atau karena keawamannya, namun karena sadar sepenuhnya bahwa dirinya ingin keluar dari aqidah yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Entah iblis mana yang merasuki pikirannya.


Di antara contoh kesesatan aqidahnya sebagaimana yang bisa kita baca dalam tulisannya, Fushushul-hikam adalah:


1. Mengembangkan paham wihdatul-wujud.


Paham ini menyatakan bahwa semua makhluk ini adalah tuhan. Atau tuhan menyatu dengan semua makhluk. Pemikiran ini bukan sekedar diyakini untuk dirinya sendiir, namun lebih dari itu dia ikut mengkampanyekannya.


Padahal paham ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar aqidah Islam yang menyatakan bahwa Allah bukanlah makhluq.


Sayangnya, para aktifis liberalis di negeri kita ini malah keranjingan dengan pemikiran yang tidak bikin kita enak makan dan enak tidur.
2. Meyakini bahwa perbuatan hamba adalah perbuatan Allah
Paham ini pengembangan dan konsekuensi dari doktrin di atas, karena makhluk itu adalah Allah, maka apa yang dikerjakan oleh makhluk berarti juga pekerjaan Allah.
Dan paham ini sesat lagi menyesatkan.

Karena perzinaan, pembunuhan, pencurian, pemerkosaan dan semua doa manusia tidak perlu disesali, karena toh merupakan perbuatan Allah juga. Nauzdu billah.

3. Allah membutuhkan pertolongan makhluknya

Pendapat ini sangat merendahkan Allah, karena dianggap Allah itu seperti manusia biasa yang butuh pertolongan dari makhluq ciptaannya sendiri.

Padahal Allah itu tuhan yang Maha sempurna dan tidak butuh pertolongan makhluqnya. Kalau Dia butuh pertolongan, maka Dia bukan tuhan.

4. Iblis dan Fir'aun muslim dan masuk surga

Iblis masuk surga karena menurutnya, iblis itu makhluq yang paling suci tauhidnya lantaran tidak mau sujud kepada nabi Adam alaihissalam. Sedangkan malaikat punya kedudukan yang lebih rendah dari iblis.

Demikian juga Ibnu Arabi meyakini bahwa Fir'aun bukan orang kafir, tetapi muslim dan akan masuk surga.

Pendapatnya itu jelas bertentangan dengan ayat Al-Quran tentang iblis.

Dan berkatalah syaitan tatkala perkara telah diselesaikan, "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih. (QS. Ibrahim: 22)

Sedangkan pendapat bahwa Fir'aun itu muslim dan masuk surga, juga bertentangan dengan ayat ini

Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat., "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras."(QS. AL-Mukmin: 46)

Entah apa yang dijadikan landasan olehnya, tetapi pemikiran ini akan membuat dahi kita berkerut 10 lipatan. Dan akan memotivasi orang ahli maksiat dan angkara murka untuk semakin bengis, serakah dan menindas. Karena tidak akan ada siksa di akhirat, lantaran Fir'aun dan Iblis pun muslim dan masuk surga.

Di Indonesia, penggemar berat Ibnu Arabi adalah mendiang Cak Nur, lalu diteruskan oleh kader-kader paham liberalis hingga sekarang ini. Entah apa yang berkecamuk di pikiran mereka, yang jelas tokoh ini bukan muslim karena telah divonis sesat oleh para ulama yang muktabar.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber : Eramuslim


Saturday, April 19, 2008

sedikit saja dari Al-Qur'an dan As-sunah bisa membuat orang tersebut keluar dari Islam, semoga dengan tulisan ini Allah senantiasa menunjuki kita kepada aqidah yang murni yaitu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-sunah Nabi.

Bagi seorang yang ingin mengikuti sebuah paham atau kelompok hendaknya dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yg benar dan mana pemahaman yg salah. Banyak kita saksikan seseorang kebingungan bila dia mendengar atau membaca pernyataan bahwa: Ini adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah pemahaman yang menyeleweng! Mengapa dia bingung. Hal itu terjadi tidak lain karena dia belum mengetahui perkara yg benar dan yg salah. Kebingungan ini tidak hanya melanda orang awam saja. Akan tetapi para pelajar, mahasiswa, dan kalangan intelek pun mengalami hal yg sama. Untuk itu sudah seharusnya seorang itu terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara tentang firqah-firqah sesat semacam syi’ah, mu’tazilah, jahmiyah, dan lain-lainnya tidak akan merasa heran. Sudah semestinya seorang Muslim mempelajari kebenaran yang terdapat pada manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan bagaimana sikapnya terhadap bentuk ibadah seperti ini.

Para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang yang arif dan bijaksana. Mereka tidak menghukumi kelompok atau perorangan berdasarkan hawa nafsu atau karena sakit hati tetapi dengan ilmu dan bukti-bukti otentik yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan semua makhluk. Berapa banyak orang2 sufi yg berpenampilan sederhana dan zuhud tidak luput dari kritikan dan kecaman pedas dari para ulama. Mereka bisa menipu orang awam tapi jangan harap bisa menipu ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Kalau anda mau dengar dan belajar tentang sejarah munculnya tasawuf dan Sufi, berikut ini ana coba beri ulasan tentang asal mula ajaran tasawuf, siapa yg menyampaikan, hakikatnya dan penyimpangannya terhadap aqidah.


  1. Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi
Tasawuf (تَصَوُّف) diidentikkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia. Pelakunya disebut Shufi (selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, red) (صُوْفِيٌّ), dan jamaknya adalah Sufiyyah (صُوْفِيَّةٌ). Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di jaman Rasulullah, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in. Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.” (Majmu’ Fatawa, 11/5)

Bashrah, sebuah kota di Irak, merupakan tempat kelahiran Tasawuf dan Sufi. Di mana sebagian ahli ibadahnya mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud, dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah), hingga akhirnya memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuf/صُوْفٌ ).
Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuf (صُوْفٌ). Jadi, lafadz Sufi bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di jaman Rasulullah, karena nisbat kepadanya adalah Shuffi (صُفِّيٌ). Bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah, karena nisbat kepadanya adalah Shaffi (صَفِّيٌ).

Demikian juga bukan nisbat kepada makhluk pilihan Allah
الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ
karena nisbat adalah Shafawi ز(صَفَوِيٌّ) . Dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab) meski secara lafadz bisa dibenarkan. Namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.
Para ulama Bashrah yang mengalami masa kemunculan kelompok sufi, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana diriwayatkan Abu Asy-Syaikh Al-Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah, bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.

Maka beliau berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al-Masih bin Maryam! Maka petunjuk Nabi kita lebih kita cintai, beliau biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun, dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 5, 6, 16)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin 'Ali Al-Jami rahimahullah berkata: “Demikianlah munculnya jahiliah Tasawuf, dan dari kota inilah (Bashrah) ia tersebar.” (At-Tasawuf Min Shuwaril Jahiliah, hal. 5)


Siapakah Peletak Tasawuf ?

Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu ‘Ajibah - mendapatkannya dari Allah melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib , kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah , ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah telah perintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67)

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib , maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia! Hanya saja beliau pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin?” Beliau menjawab: “Rasulullah bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).


Hakikat Tasawuf

Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib , maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?

Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28).

Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah di dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya . Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19).2


Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:
1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah dapat menjelma dalam bentuk tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).
Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta, pen) dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:
رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ
“Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”
(Jawahirul Ma’ani, karya 'Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

Padahal Allah I telah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي ...
“Berkatalah Musa: 'Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.' Allah berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku'…" (Al-A’raf: 143)

2. Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah
I
bnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah” (Fushushul Hikam).1 Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?

3. Keyakinan kafir bahwa Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya
Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)

Padahal Allah telah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلاَّ آتِى الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)

4. Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada
Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah).

Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”

Padahal Allah berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih
Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan snadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah).1

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Mereka berdalil dengan firman Allah I dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: 'Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian', kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: 'Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian'."

Beliau melanjutkan: "Dan bahwasanya 'Al-Yaqin' di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah itu bukan karena takut dari adzab Allah (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah.

Padahal Allah I berfirman:
وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” ('Ali Imran: 131)

وَسَارِعُوآ ِإلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” ('Ali Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “الله / Allah”, “هُوَ / huwa”, dan “آه / aah” saja.

Padahal Rasulullah r bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ
“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah t, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).1

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هُوَ / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-'Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah dustakan mereka dalam firman-Nya :
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad.

Padahal Allah berfirman :
فُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ ...
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah I menciptakan dunia ini karena Nabi Muhammad.

Padahal Allah berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini saja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah menjauhkan kita dari kesesatan-kesesatan tersebut …

Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”
Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama'ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin) sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah seorang Sufi. Jama'ah Tabligh, didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu, Jama'ah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah.
(Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)

Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna, seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat Hashafiyyah dan setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang diadakan di Masjid At-Taubah…”

Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.” (Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain, hal. 63-64)

Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber artikel sebagian ana kutip dari situs ini:
http://assalafy.org/al-ilmu.php?tahun2=44
Posted at 04:01 am by khadafi

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com